Hubungan Suami Istri menurut Etika Islam

Hubungan Suami Istri menurut Etika Islam

Oleh : Buya H. Mas’oed Abidin

Jodoh adalah Qadha’ (ketentuan) Allâh, di mana manusia tidak punya andil menentukan, manusia hanya dapat berusaha mencari jodoh yang baik menurut Islam. Untuk itu perlu diperhatikan sungguh-sungguh watak dan ciri-ciri dari pasangan hidup yang sewajarnya akan menjadi pendamping (suami-isteri).

Tercantum dalam Al Qur’ân: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini kecuali dengan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini kecuali oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang mukmin. (QS. Al-Nûr/24: 3).

A.     Sebelum Melakukan Hubungan Seks (Coitus)

Pengantin atau suami isteri sebelum melakukan hubungan biologis (coitus) penganten atau suami-isteri mesti melaksanakan hal-hal berikut ini:

1.        Wajib memberikan mahar terlebih dulu (bagi pengantin baru) jika maharnya di utang, harus dibayarkan maharnya dulu, sabda Rasul Allâh, SAW: Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi SAW, melarang Ali menggauli Fatimah sampai ia memberikan sesuatu (mahar) kepadanya. Lalu jawab Ali: “Saya tidak punya apa-apa.” Maka sabda Rasul Allâh, “Dimana baju besi ‘Hutamiyahmu? Lalu berikanlah barang itu kepadanya. (HR. Abu Dâud, Al-Nasâ’iy dan Hakim)

2.        Membersihkan badan (mandi) dari hadas dan najis serta hal-hal berbau tak sedap.[1]

3.        Setelah bersih, hendaklah berwudhu’, yang termasuk padanya membersihkan mulut, hidung, tangan, muka dan lainnya anggota wudhu’.

4.        Pakailah cahaya remang-remang atau gelap, karena dalam suasana demikian akan meningkatkan konsentrasi, sehingga segala kekurangan jasmaniah dapat diatasi.

5.        Berdo’a kepada Allâh (semoga Allâh melimpahkan nikmat-Nya), seperti do’a diajarkan[2]

عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ قَالَ لَوْ أَنَّكُمْ إِذَا آتَى أَهْلَهُ قَالَ : بِسْمِ اللهِ، اَللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَقُضِىَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌلَمْ يَضُرُهُ.

“Dari Ibnu Abbas r.a. ia menyampaikan apa yang diterima dari Nabi SAW. Beliau bersabda, “Andaikata seseorang diantara kamu semua mendatangi (menggauli) isterinya, ucapkanlah, “Bismi Allâhi, Allâhumma Jannibnâ Syaithânâ wajannibi al-syaithânâ mâ razaqtanâ.” (dengan nama Allâh. Ya Allâh, hindarilah kami dari syetan dan jagalah apa yang engkau rizkikan kepada kami dari syetan.” Maka apabila ditakdirkan bahwa mereka berdua akan mempunyai anak, syetan tidak akan pernah bisa membahayakannya.” (HR. Bukhâriy dalam Kitab Shahihnya pada Kitab Wudhuk Hadits ke-141). 

6.        Mulailah coitus dengan awal lembut dan harmonis tanpa paksaan. Lakukan jima’ pada sepertiga malam (pukul 10 keatas), atau pada tiga waktu yang nyaman yaitu, sebelum shalat subuh, tengah hari, dan sesudah shalat isya’, sebagaimana disebut dalam wahyu ;

 

” Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan perempuan) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar) mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya’. (Itulah) tiga `aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allâh menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allâh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Nûr/24: 58).

Sabda Rasul Allâh SAW: “Siapa pun diantara kamu, janganlah menyamai isterinya seperti seekor hewan bersenggama, tapi hendaklah ia dahului dengan perentaraan. Selanjutnya, ada yang bertanya: Apakah perantaraan itu ?

Rasul Allâh SAW bersabda, “yaitu ciuman dan ucapan-ucapan romantis”. (HR. Bukhâriy dan Muslim).

7.        Dilakukan dalam kondisi yang sehat dan menyenangkan bagi kedua pasangan. Dalam keadaan begini insyâ Allâh akan sama menikmati dan dilakukan dalam keadaan siap fisik dan psychis kedua pasangan.[3]

8.        Setelah selesai melakukan hubungan intim, hendaknya membaca do`a,

اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيْرًا.

“Segala puji bagi Allâh yang telah menjadikan manusia dari air (mani), lalu menjadikan pertalian darah, dan hubungan perkawinan. Dan Allâh adalah Maha Berkuasa”.  

9.        Apabila ingin memulai yang kedua atau seterusnya lebih afdhallah melakukan wudhu’, sekurang-kurangnya membasuh faraj dengan bersih.

B.    Sesudah Melakukan Hubungan Seks

Suami-isteri yang baru saja melakukan hubungan seks (coitus, jima’) dalam fiqh thaharah disebut dengan istilah junub (berjunub), maka ia wajib mandi (QS. Al-Mâidah/5: 6).

Agama Islam menetapkan ada beberapa macam yang menyebabkan seseorang wajib mandi dalam fiqh Islam sebagai ijtihad al-thathbiqy (penerapan hukum):

1.      Karena melakukan hubungan seksual (coitus/jima’)

2.      Keluarnya mani (sperma), (bermimpi, senggama, sengaja atau tidak sengaja). Rasul Allâh SAW bersabda, Apabila air (sperma) itu terpancar keras, maka mandilah. (HR. Abu Dâud). Kalau tidak keluar mani, maka Rasul Allâh SAW. menerangkan, dalam hadits berikut,

عَنْ أُبَىَّ ابْنِ كَعْبٍ أَنَّهُ قَالَ: يَارَسُوْلَ اللهِ إِذَا جَامَعَ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ فَلَمْ يُنْزِلْ. قَالَ “يَغْتَسِلُ مَا مَسَّ الْمَرْأَةَ مِنْهَ ثُمَّ يَتَوَضَّاءُ وَيُصَلِّى”. قَالَ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ: الْغَسَلَ اَحْوَطُ وَذَاكَ اْلآخِرُوَإِنَّمَا بَيْنَا ِلإِخْتِلاَفِيْهِمْ. ( رَوَاهُ الْبُخَارِى فِى الْكِتَابِ الْصَّحِحِهِ/كِتَابٌ الْغُسْلِ–حَدِيْثٌ- 290 )

116

“Dari Ubai bin Ka`ab bahwasanya ia berkata : “Wahai Rasul Allâh, apabila ia seorang laki-laki menyetubuhi isterinya, tetapi tidak mengeluarkan mani, apakah yang diwajibkan olehnya? Beliau bersabda, ”Hendaknya dia mencuci bagian-bagian yang berhubungan dengan kemaluan perempuan, berwudhu’ dan lalu shalat”. Abu `Abd Allâh berkata, “mandi adalah lebih berhati-hati dan merupakan peraturan hukum yang terakhir. Namun mengetahui tidak wajibnya mandi kamu uraikan juga untuk menerangkan adanya perselisihan pendapat antara orang `alim.” (HR. Bukhâriy dalam Kitab Shahihnya/Kitab Mandi, hadits ke-290)

3.      Berhenti Haid dan Nifas

Rasul Allâh SAW, “Dari Fatimah binti Abi Hubaisy, Rasul Allâh SAW bersabda, Apabila haidmu datang maka tinggalkanlah shalat dan apabila haid tersebut telah selesai maka mandilah kemudian shalat.”

4.      Karena Meninggal Dunia.

Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW bersabda, “Mandikanlah olehmu dengan air dan bidara …. (HR. Mutafaqq ‘alaih)

C.    Hubungan Seks yang Dilarang Islam

Banyak buku-buku Islam mengenai Rumah Tangga, Kebahagiaan Rumah Tangga yang membahas masalah senggama, dalam Bâb al-Jima’, ada beberapa yang mesti dihindari dan dapat menjauh dari etika religi menurut agama Islam. Hal yang melanggar adab Jima` dalam Islam, antara lain ;

1.      Berbugil (kecuali dalam selimut).

2.      Oral sex.

3.      Bersetubuh lewat dubur.

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قال رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَلْعُوْنٌ مَنْ اَتَى إِمْرَأَةً مِنْ دُبُوْرِهَا (رَوَاهُ اَبُوْدَاوُدْ وَ النَّسَاءِى)

“Dari Abu Hurairah radhiy Allâhu `anhu, Rasul Allâh SAW bersabda, “Terkutuklah siapa saja yang menggauli isterinya melalui duburnya”. (HR. Abu Dâud dan al-Nasâ’iy)

4.      Menyakiti/berlaku kasar terhadap pasangan (QS. Al-Nisâ’/4 : 14).

5.      Bersetubuh waktu perempuan haid, seperti firman Allâh berikut;

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَأَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ.

118

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari perempuan di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allâh kepadamu. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah/2: 222)

Imam Al-Ghazali16 dalam Ihya’ `Ulumuddin mengulas lengkap masalah ini berdasarkan Al-Qur’ân, Hadis dan Ijtihadnya.

Beliau menyebutkan misalnya di mana saja dari bagian tubuh perempuan itu yang sensitif dan yang sangat sensitif, yang berbeda pada setiap perempuan, maka sangat perlu ada komunikasi intim.


[1] Dr. H. Ali Akbar, menambahkan bahwa pada tahap mandi bersih-bersih ini hendaklah dikosongkan kantong kencing, dan membersihkan penis (alat kelamin laki-laki) dan vagina (alat kelamin perempuan).

[2] رَوَاهُ الْبُخَارِى فِى اْلكِتَابِ الصَّحِيْحِهِ/كِتَابُ الْوُضُوْءِ- حَدِيْثٌ- 141

[3] Selanjutnya dalam masalah ini Ali Akbar berpesan, “Bagi kita kaum muslimin, adab seksual yang baik dan terpuji adalah adab seksual Islam, yang ditauladankan oleh Nabi Muhammad SAW. Kesenangan dari aktivitas seksual itu sebenarnya adalah tergantung dari keadaan mental kedua belah pihak.

 

16 Dalam kitab ini beliau membahas masalah hubungan suami-isteri secara gamlang, sehingga jelas etika bagaimana berhubungan intim yang sesuai syari`at Islam, paling tidak menggambarkan keluesan Islam mengajarkan kepada kita untuk melakukannya dengan nyaman. Walaupun Syaikh Shalih Al-Fauzhan mengkritisi banyak hadits-hadits dha`if dalam kitab tersebut, dan sampai ada ungkapan, “Ilmu Hadits yang dimiliki Imam Al-Ghazali seperti orang mencari kayu bakar dimalam hari.” Namun kekurangan tersebut dapat diatasi dengan mengedit beberapa hal yang perlu oleh penerusnya dengan tidak merobah kandungan aslinya, mesti proposional. Masalah tentang hubungan intim itu dibahas oleh Imam Ghazali dalam Ihya’ `Ulumuddin, penerjemah: Ahmad Rofi` Usmani, (Bandung: Pustaka, 2005), Cet. I. Jilid 4, hal. 130-181. Dalam keterangan lain Felyx Bryk menyelidiki dengan kesimpulan bahwa “berkhitan dapat memperlambat ejaculatio seminis (memperlambat/memperpanjang persenggamaan).” Sejarah berkhitan ini, terdapat semenjak purba, pada bangsa Semit, Mesir, berbagai bangsa Amerika, Afrika, Melanesia, Polynesia, Australia dan Indonesia. Hanya pada bangsa Indo-Jerman, Mongol dan Fin yang tiada kebiasaan ini (kecuali yang dipengaruhi kebudayaan Islam).

Menurut Riwayat, yang mula berkhitan ialah Nabi Adam `alaihi salam, dan mewariskan kepada keturunannya. Dan diteruskan oleh Nabi Ibrahim `alaihi salam. Akan tetapi oleh Penganut Kristen, syari`at berkhitan itu dibatalkan. Bacalah: 1 Korintus 7: 18-19 juncto Galitia 5: 2, Galitia 6: 15. Inilah yang menjadi syari`at Nabi sebelum Nabi Muhammad yang disyari`atkan juga pada umatnya. Khitan, pada anak laki-laki adalah sebelum akhir baligh dan perempuan secepatnya pada umur tujuh hari sesudah kelahirannya dan biasanya paling lambat selagi balita. (Panji Masyarakat No. 619, 1989, hal. 36-37).

5 replies to “Hubungan Suami Istri menurut Etika Islam

  1. Asalam, buya mungkin artikel buya ini sudah termasuk lama, tapi setelah saya membaacanya saya menjadi bertanya dalam artikel itu ditulis bugil(kecuali berselimut) dalam hal ini apakah kita dilarang untuk melihat keseluruhan aurat pasangan kita????

Tinggalkan Balasan ke Chairul Anam Batalkan balasan

close-alt close collapse comment ellipsis expand gallery heart lock menu next pinned previous reply search share star